Rabu, 11 Januari 2017

GOLIAT TABUNI BANTAH KELUARKAN PERNYATAAN PERANG


Adanya kabar yang beredar di media online Gatra bahwa Panglima Organisasi Papua merdeka (OPM) Goliat Tabuni menyatakan perang dengan Pemerintah Indonesia adalah tidak benar, itu hanyalah pernyataan Lekagak Telenggen yang berusaha mengambil alih keputusan dengan mengatas namakan Goliat Tabuni agar mendapat dukungan seluruh anggota TPNOPM hal ini dilakukan menginggat Goiat Tabuni sebagai Panglima Tertinggi sementara kenyataan yang ada antara Lekagak Telenggen dengan Goliat Tabuni berseberangan dan sering berbeda pendapat.

Setelah dikonfirmasi oleh awak media, pernyataan tersebut dibantah langsung oleh Goliat Tabuni bahkan sangat terkejut setelah mengetahui adanya kongres yang dilaksanakan di Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya dipimpin dirinya.

“Saya tidak pernah keluarkan pernyataan perang, itu hanya tipu-tipu Lekagak Telenggen saja supaya dapat uang dari pemerintah daerah dan saya saat ini berada di Tinggi Neri bukan di Kuyawage memimpin pertemuan seperti yang diberitakan.” tegasnya.


Lebih lanjut dijelaskan oleh Goliat bahwa Lekagak Telenggen sering berbeda paham yang dengan dirinya. Ia sendiri tidak setuju dengan adanya pengibaran Bintang Kejora yang sering dilakukan oleh kelompok Lekagak Telenggen dan KNPB saat berdemo di Jayapura dan daerah lain.

Minggu, 08 Januari 2017

KEBOHONGAN OPM DENGAN MEMANFAATKAN MOMEN BAIK DI DALAM DAN LUAR NEGERI

Elite Politik kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) tak pernah bosan membohongi masyarakat khususnya Papua dan memberi harapan semu kepada para pendukungnya dengan mengarang berbagai cerita dan memanpaatkan berbagai momen yang sedang terjadi baik di dalam negeri maupun di luar negeri guna mencari simpatik dan kepercayaan dari para pendukungnya.

Seperti pada beberapa bulan lalu OPM menyebutkan bahwa telah mengirimkan sebuah laporan resmi terkait pelanggaran HAM berat yang dilakukan Indonesia di Papua, kepada PBB. Namun, hal ini dengan tegas dibantah oleh PBB dengan menyebutkan tak pernah ada satu lembarpun laporan yang dikirimkam terkait pelanggaran HAM di Papua kepada mereka.
Juru bicara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Stephane Dujarric menyatakan pihaknya tidak pernah menerima dokumen mengenai laporan hak asasi manusia (HAM) dari kelompok OPM. Hal itu disampaikan Dujarric dalam press briefing di markas PBB di New York, Rabu 1 Juni 2016.

Pernyataan jubir PBB tersebut disampaikan terkait informasi yang beredar yang mengklaim Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Ban Ki-moon telah menerima laporan pelanggaran HAM di Papua dari perwakilan OPM. Informasi yang beredar Dokumen tersebut dilaporkan diserahkan Ketua Asosiasi Lembaga Non-Pemerintah Kepulauan Pasifik (PIANGO) Emele Duituturaga kepada Sekjen Ban Ki-moon pada kesempatan World Humanitarian Summit yang berlangsung pada 23 sampai 24 Mei di Istanbul, Turki.

Dujarric juga mengklarifikasi bahwa Sekjen PBB tidak pernah melakukan atau mengagendakan pertemuan dengan perwakilan Papua Barat dalam KTT di Turki seperti yang diinformasikan oleh OPM tersebut.
Pada bulan lalu OPM juga kembali membuat ulah dengan memanpaatkan moment keagamaan, kedatangan Ahok Cahyapurnama yang merayakan Natal bersama masyarakat Papua, telah dimanpaatkan oleh OPM dengan memasang spanduk seolah-olah kedatangan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut adalah bagian daripada dukungan kepada OPM.         Sejumlah tokoh adat, tokoh agama dan mayoritas masyarakat Papua yang menghadiri kegiatan menyayangkan tindakan tersebut. Acara yang seharusnya penuh dengan suasana keagamaan telah dikotori oleh OPM dengan kepentingan politik mereka, segala tindakan baik propaganda dan agitasi untuk merusak citra Indonesia di mata dunia dan mencari dukungan masyarakat khususnya Papua selalu dilakukan.

Dengan bantuan dan sokongan dana dari sejumlah negara Barat yang menginginkan Papua lepas dari kedaulatan Indonesia, menjadikan masalah HAM sebagai senjata ampuh mereka dalam menarik simpati dunia, isu bahwa pemerintah Indonesia menurut mereka telah melakukan pembantaian di Papua dengan korban hingga ratusan ribu, selain itu Pemerintah Indonesia juga dituduh melakukan politik isolasi dengan menghalangi pers mengunjungi Papua. Tapi semua tuduhan tersebut hingga kini tak pernah terbukti satupun. Sejumlah negara yang penasaran dengan kondisi Papua bahkan telah melakukan kunjungan ke Papua.


Segala tindakan para aktivis OPM baik TPNOPM ataupun para elite politik KNPB tidak berupaya memajukan dan menunjang pembangunan, justeru lebih cenderung sebagai kelompok penghambat pembangunan di Papua dengan berbagai isu, propaganda bahkan terror dan gangguan keamanan serta pemecah persatuan antar suku dan agama di Papua yang selama ini hidup rukun dan berdampingan.

Rabu, 04 Januari 2017

SEJARAH PERJUANGAN MASYARAKAT PAPUA MENENTANG KOLONIALISME BELANDA

Ayub Kafiar kelahiran Ambai 3 April 1923, Pelaku Sejarah yang pernah menjadi ajudan Ir Soekarno dan ikut berjuang dalam pembebasan Irian Barat

Sungguh perbuatan naif dan membodohi masyarakat khususnya Papua pernyataan para aktivis KNPB bila tidak mengakui para pelaku sejarah khususnya masyarakat Papua yang telah mengorbankan tenaga, materi bahkan nyawa untuk melepaskan tanah Papua dari cengkeraman penjajah Kolonial Belanda. Mereka-mereka baru lahir di bumi Papua setelah kemerdekaan yang seharusnya mengisi kemerdekaan dengan membangun dan memajukan Papua kearah yang lebih baik lagi justeru selalu mengusik ketenteraman, berusaha memecah belah antar suku dan agama yang selama ini hidup rukun dan berdampingan, selalu  berusaha memutarbalik fakta sejarah bahkan berupaya memisahkan Papua dari NKRI dengan berbagai tipu daya dan mengaburkan sejarah Papua sementara Dunia Internasional sudah mengakui bahwa Integral Papua kedalam Indonesia adalah sah karena sudah tercatat dan di putuskan PBB.  

Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan tanggal 17 Agustus 1945, seluruh pemuda dan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke mengumandangkan pekik “Merdeka” dan bangkit melawan penjajahan Belanda dan sisa-sisa tentara Jepang. Setelah Perang Dunia II, Belanda berusaha menguasai kembali wilayah di Nusantara dengan membentuk Pemerintahan Hindia Belanda (NICA) dan didukung oleh kekuatan angkatan perang, KNIL, serta dibantu oleh tentara sekutu.

Memasuki tahun 1946, pergolakan pemuda dan seluruh masyarakat Indonesia melawan tentara Belanda merata di seluruh wilayah Nusantara, yaitu dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku dan Irian. Namun, pemerintah RI saat itu tidak cukup memiliki tenaga dan sumber daya untuk memimpin dan mengkoordinasikan seluruh kekuatan pergerakan dan perlawanan di wilayah Nusantara, sehingga perlawanan terkoordinir sebatas tiap-tiap wilayah.

Dengan adanya kebijakan politik dan strategi perang tersebut, otomatis perjuangan para pemuda dan masyarakat di wilayah Papua tidak terpantau dan tidak terkoordinasikan dengan Pemerintah RI di Jawa. Padahal pada tahun 1946 tersebut di Tanah Papua terjadi perlawanan yang cukup hebat terhadap kolonialisme dan upaya pendudukan kembali oleh Pemerintah dan Tentara Belanda. Perlawanan tersebut tercatat terjadi di dua kota, yaitu di Merauke dan Hollandia (Jayapura sekarang).

Pada tanggal 14 Maret 1946 di Merauke terjadi pertempuran hebat antara para pemuda Papua melawan tentara kolonial Belanda. Para pemuda Papua tersebut merupakan mantan Heiho yang telah dididik ilmu kemiliteran oleh Jepang dan telah mengetahui tentang kemerdekaan RI melalui berita radio yang disampaikan oleh Pemerintah RI. Rasa kebangsaan mereka timbul dan bertekad untuk melawan penjajahan serta merebut kemerdekaan yang selama ini diidam-idamkannya. Dengan berbekal rasa nasionalisme, semangat pantang menyerah, serta ditunjang oleh pengalaman kemiliteran, para pemuda Papua di Merauke melakukan perlawanan militer terhadap tentara kolonial Belanda yang berusaha kembali menjajah Tanah Papua. Pertempuran hebat pun berlangsung di kota Merauke dan sekitarnya serta membuat keadaan di kota Merauke cukup mencekam selama tiga hari. Meskipun hanya bersenjatakan seadanya, para pemuda Papua di Merauke berhasil membuat kesulitan pada tentara kolonial Belanda yang bersenjatakan lengkap. Akhirnya, tentara kolonial Belanda berhasil menggagalkan upaya dari para pemuda Papua, dan sebagian besar pemuda Papua tersebut gugur sebagai kusuma bangsa serta sebagian kecil lainnya hilang tak tentu rimbanya.

Perjuangan dan perlawanan para pemuda dan masyarakat Papua di Hollandia (Jayapura sekarang) tergolong lebih sistematis dan terencana. Pada akhir tahun 1945 terjadi pertempuran antara pejuang Papua yang rata-rata berasal dari Digul dengan tentara kolonial Belanda yang dipimpin oleh Sunggoro. Tentara kolonial Belanda berhasil mematahkan perlawanan pejuang Papua tersebut dan menangkap Sunggoro.    Walaupun Sunggoro sudah meringkuk dalam penjara Hollandia dan sebagian besar pejuang Digul serta teman-temannya memilih berjuang di daerah RI namun pergolakan rakyat Irian tidak terhenti. Sunggoro dengan S. Papare, Martin Indey dan lain-lainnya mempersiapkan perlawanan untuk yang kedua kalinya terhadap Belanda. Pimpinan umum tetap pada Sunggoro, sehingga markasnya berada di dalam penjara. Betapapun ketatnya penjagaan di penjara, pasukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda dapat juga dipersiapkan bahkan ada beberapa penjaga penjara yang turut serta dalam pasukan perlawanan tersebut.    Sebagai Panglima ditunjuk Penggoncang Alam, seorang pejuang asal Minangkabau, sedangkan Martin Indey berhasil mempengaruhi sebagian besar anggota “Batalyon Papua” yang dikepalai oleh Kapten de Bruin. Batalyon Papua tersebut adalah pasukan yang dibentuk oleh Pemerintah Belanda di mana personelnya terdiri dari orang asli Papua dengan tujuan untuk dijadikan pasukan penggempur guna menyerang Pemerintah RI.

Rakyat Papua menghormati dan menjunjung tinggi pemimpin-pemimpin patriotik – nasionalis Indonesia berkat adanya sosialisasi dan upaya yang dilakukan oleh Martin Indey, Papare, Rumkoren, dan lain-lain. Lebih kurang tiga perempat dari jumlah anggota Polisi turut serta dalam pasukan perlawanan. Sekolah Polisi pun sudah mendukung perjuangan yang akan dilakukan pasukan perlawanan. Di kalangan tentara Belanda sendiri (KNIL) ada lebih kurang 30 orang pemuda Menado yang bersedia turut serta. Dengan teliti diaturlah persiapan untuk melucuti KNIL, menangkap pembesar-pembesar Pemerintah Belanda dan menduduki stasiun radio. Pimpinan umum, Sunggoro, sudah memutuskan akan melakukan perlawanan terhadap Belanda pada tanggal 17 Juli 1946. Peluru-peluru sudah dibagikan dan pemuka-pemuka adat Papua serta pemuka masyarakat sudah diberitahu, namun, Belanda berhasil mencium adanya persiapan perlawanan terhadap kekuasaannya dan dilakukanlah razia secara besar-besaran. Akibatnya, terjadilah insiden-insiden perlawanan oleh para pemuda dan masyarakat Papua dalam skala yang kecil dan terbatas. Rencana perlawanan dan insiden tersebut dapat dipatahkan oleh Belanda. Banyak pejuang yang ditangkap. Belanda bertindak pula terhadap “Batalyon Papua”, meskipun Batalyon tersebut sudah sangat berjasa terhadap Belanda maupun tentara sekutu dalam membebaskan Irian dari pendudukan Jepang. Tetapi kini mereka dianggap paling berbahaya oleh pemerintahan Belanda (NICA).

Selanjutnya Belanda melakukan pembersihan di dalam alat-alat kekuasaannya, yang terbukti memiliki orientasi untuk berjuang bagi kemerdekaan dan keutuhan wilayah RI. Hanya KNIL-lah yang saat itu menjadi tulang punggung kekuasaan Belanda di Tanah Papua. Pamongpraja dan Swapraja Irian pun terbukti tetap menyokong gerakan kemerdekaan Indonesia. S. Papare dianggap Belanda berbahaya bila berada di Hollandia. Oleh Residen van Eekhout ia kemudian dipindahkan ke Serui untuk berpraktek sebagai dokter. Pada saat yang hampir bersamaan, Belanda mengasingkan rombongan Gubernur Ratulangi ke Serui, dan kejadian ini meninggikan moril pejuang-pejuang Irian di daerah Serui karena memperoleh bantuan pemikiran dari tokoh-tokoh pejuang yang berpengaruh.            Betapapun Belanda sangat mengucilkan S. Papare dan Gubernur Ratulangi namun melalui Gereja maupun melalui para pemuda pejuang Papua maka dapat terbina hubungan antara Papare dkk dengan rombongan Gubernur Ratulangi, sehingga dapat diatur rencana dan petunjuk-petunjuk politik dalam perjuangan untuk meraih kemerdekaan dari Pemerintahan Belanda.

Sejak tahun 1946 Marthen Indey menjadi Ketua Partai Indonesia Merdeka (PIM). Ia lalu memimpin sebuah aksi protes yang didukung delegasi 12 Kepala Suku terhadap keinginan Belanda yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Indey juga mulai terang-terangan menghimbau anggota militer yang bukan orang Belanda agar melancarkan perlawanan terhadap Belanda.

Akibat aktivitas politiknya yang kian berani ini, pemerintah Belanda menangkap dan memenjarakan Indey. Tahun 1962, saat Marthen Indey tak lagi dipenjara, ia menyusun kekuatan gerilya sambil menunggu kedatangan tentara Indonesia yang akan diterjunkan ke Papua dalam rangka operasi Trikora. Saat perang usai, ia berangkat ke New York untuk memperjuangkan masuknya Papua ke wilayah Indonesia, di PBB hingga akhirnya Papua (Irian) benar-benar menjadi bagian Republik Indonesia.