Sabtu, 24 September 2016

EUFORIA KEMERDEKAAN TIMOR LESTE SEBAGAI AWAL PENDERITAAN RAKYAT !!!


Timor Leste adalah sebuah negara kecil di sebelah utara Australia dan bagian timur pulau Timor, wilayah ini dulu dikenal dengan nama Timor Timur dan merupakan Provinsi ke-27 NKRI, setelah lepas dari Portugis daerah ini bergabung dengan Indonesia pada tahun 1975. Bermula dari perang saudara sampai bergabung dengan Indonesia dimana dari 5 partai yang ada (Fretelin, UDT Adeti, , KOTA,dan Trabalista), 4 partai  menyatakan bergabung dengan Indonesia sementara 1 Partai (Fretelin) menolak dan memproklamasikan kemerdekaan Timor Leste menjadi sebuah negara sekalipun di tentang mayoritas masyarakat saat itu, partai Fretelin inilah yang kemudian muncul sebagai gerakan separatis dan tetap menghendaki pemisahan untuk berdiri sebagai sebuah negara.  Dengan berjalannya waktu dan adanya campur tangan Australia dengan bantuan dan usaha lewat Referendum pada tahun 1999, sehingga pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur resmi lepas dari NKRI dan berdiri menjadi sebuah negara dan berganti nama Timor Leste.

Setelah menjadi negara berdaulat, Timor Leste justeru menjadi tidak stabil, untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan masyarakat dilakukan secara terbatas, dari tahun ke tahun jumlah tenaga kerja semakin meningkat sementara lapangan pekerjaan yang mampu menyerap sangat minim, anak-anak tidak memperoleh pendidikan yang berkualitas di akibatkan tingginya angka kemisknan masyarakat menyebabkan semakin banyaknya pengangguran dan rendahnya SDM generasi muda sebagai penerus bangsa,  kesulitan dalam biaya dan sarana serta akses pelayanan publik seperti kesehatan, jaminan sosial dan lain-lain serta menguatnya arus urbanisasi dari daerah ke kota menyebabkan perekonomian negara Timor Leste semakin memburuk dan oleh bank dunia, Timor Leste dikelompokan kedalam negara yang perekonomian menengah kebawah dengan menyandang predikat negara termiskin di Asia dan salah satu negara termiskin di dunia seperti negara Kepulauan Solomon.

Rumah sakit peninggalan Pemerintah Indonesia di Bidau tidak bisa melakukan pelayanan secara optimal hal ini di karenakan minimnya tenaga dokter dan tidak jarang masyarakat berobat ke Kupang (NTT) itupun hanya bagi keluarga mampu mengingat besarnya biaya yang mesti dikeluarkan.  Banyak warga Timor Leste yang ingin keluar menuju Atambua, tetapi terbatas oleh penjagaan yang kian ketat di daerah perbatasan, demikian juga pengusaha dari Atambua ke Dili kian jarang karena mereka takut tidak terjamin keamanannya.

Kemerdekaan Timor Leste hanya dinikmati kelompok tertentu saja, sementara kehidupan mayoritas masyarakat yang tersebar di berbagai pelosok desa kian menderita, ketidakstabilan keamanan terjadi dimana-mana sehingga masyarakat merasakan hidup tidak aman di negaranya sendiri, karena pertikaian antara kelompok khususnya masyarakat Timor Leste bagian Timur dengan masyarakat Timor Leste bagian Barat.   Kondisi kehidupan yang kian sulit itu menyebabkan sebagian besar masyarakat Timor Leste sering mengungkapkan rasa penyesalan berpisah dengan NKRI, karena di masa integrasi masyarakat Timor Leste memiliki kehidupan yang lebih baik, padahal tujuan mereka merdeka sebelumnya agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik dibanding sebelumnya.

Kondisi masyarakat Timor Leste setelah merdeka dibandingkan saat menjadi bagian integral NKRI, sangatlah lebih memprihatinkan, belum ada perubahan pembangunan yang dilakukan pemerintahan terkait bangunan-bangunan yang terbakar di masa jajak pendapat tahun 1999, janji kemakmuran dan kesejahteraan seluruh masyarakat serta kemajuan pembangunan yang pesat sebagai sebuah negara yang berdiri sendiri oleh para elite politik belum bisa di wujudkan dan hanya sebuah angan, bangunan peninggalan orang-orang Indonesia setelah jejak pendapat hingga kini masih tampak jelas, tidak ada upaya rehabilitasi, bahkan situasi semakin kacau saat terjadi konflik hingga lengsernya Perdana Menteri Mari Al-Katiri beberapa tahun lalu, banyak bangunan yang dibakar sehingga suasana kota Dili kian mencekam mengakibatkan banyak pengusaha yang datang dari negara lain khususnya Indonesia terpaksa meninggalkan kota-kota di Timor Leste, karena sudah tidak tahan, selain mengalami kerugian besar karena tempat usahanya banyak yang dijarah pada saat kerusuhan, merekapun tidak tahan menghadapi ganasnya pertikaian antar kelompok.

Selain kemiskinan, perang juga menjadi persoalan tersendiri bagi Timor Leste. Setelah lepas dari Indonesia, Timor Leste tak pernah sepi dari gejolak, konflik perang saudara lebih sadis dibanding saat jajak pendapat tahun 1999, membunuh sesama warga Timor Leste yang berbeda kelompok kerap terjadi, bahkan wanita hamilpun tidak segan-segan dibunuh.
Setelah 17 tahun merdeka, rakyat Timor Leste menyadari bahwa bantuan dan usaha sang tetangga seperti Australia bukan untuk menyejahterakan mereka, melainkan strategi untuk menguasai sumber daya alam Timor Leste, dimana Pada saat masyarakat yang mendukung lepasnya Timor Leste dari NKRI larut dalam keadaan euforia merayakan kemerdekaan dan menganggap Australia sebagai dewa penolong dalam mewujudkan mimpi kemerdekaan pada tanggal 20 Mei 2002, tanpa di sadari Australia punya motif terselubung dibalik usahanya membantu selama ini, tepat di hari kemerdekaan Timor Leste, Australia telah menancapkan cengkeraman di celah Timor laut dalam, antara Pulau Timor dan Australia yang kaya cadangan minyak melimpah di Celah Timor.    Sudah menjadi rahasia umum lepasnya Timor Leste (Timor Timur) dari wilayah NKRI karena adanya campur tangan Australia.   Hal ini pernah diakui oleh mantan Perdana Menteri Timor Leste Xanana Gusmao Pada sebuah kesempatan, yang mengatakan bahwa Australia ada di balik lepasnya Timor Timur dari Indonesia.

Masyarakat Timor Leste baru menyadari bahwa selama ini hanya jadi sapi perahan Australia dan beberapa bulan lalu menimbulkan gejolak di Timor Leste, dulu Australia dianggap bidan yang telah berjasa membantu kelahiran Timor Leste tetapi saat ini dipandang tak lebih sebagai penjajah yang menyengsarakan rakyat dan puncaknya Rakyat Timor Leste menggelar unjuk rasa besar-besaran pada beberapa bulan lalu. Demonstrasi yang diikuti berbagai kalangan tersebut merupakan aksi rakyat terbesar sejak Timor Leste melepaskan diri dari Indonesia pada 1999. Lebih dari 10.000 orang mengepung Kedutaan Besar Australia di Dili untuk  memprotes penolakan Australia bernegosiasi dengan Timor Timur mengenai perbatasan Laut Timor yang kaya minyak dan gas. Belum juga selesai masalah perekonomian negara yang tidak kunjung membaik, kini Timur Leste menghadapi sebuah permasalahan baru yaitu penjajahan laut yang dilakukan oleh Australia.



Sengketa dengan Australia di Celah Timor memunculkan kenangan manis masyarakat Timor Leste saat bulan madu dengan Indonesia, banyak rakyat Timor Leste yang merasa gelontoran rupiah di era Timor Timur sebagai wilayah NKRI lebih banyak dinikmati, ketimbang dolar dari Celah Timor yang hingga kini hanya sebatas angan.  Kejadian Timor Leste adalah pengalaman yang sangat berharga khususnya bagi masyarakat Papua, Organisasi Papua Merdeka baik Politik maupun Bersenjata adalah biang terhambatnya segala pembangunan di Papua dengan segala upaya propaganda dan intimidasi bahkan terror di masyarakat tanpa adanya upaya membangun Papua begitu juga dengan dukungan negara-negara miskin seperti Kepulauan Solomon, Vanute dan lain-lain tidak menutup kemungkinan hal ini dilakukan demi sebuah harapan keuntungan bagi negara tersebut kelak bila Papua lepas dari Indonesia karena mereka akan menuntut dan merujuk pada kesamaan ras melanesia yang lebih mementingkan kepemilikan bersama dengan memakai sistem ideologi sosialisme untuk saling mendukung roda perekonomian negara-negara yang pernah mendukung OPM, namun ambisi untuk melepaskan Papua dari Indonesia adalah sia-sia karena Papua sudah merdeka dan hidup di negara sendiri yaitu Indonesia dan Integral Papua kedalam NKRI adalah sah karena sudah diakui PBB dan dunia Internasional. 

Kamis, 22 September 2016

MEMBANGUN PAPUA, MENGUBUR MIMPI REFERENDUM


Keseriusan Pemerintahan Jokowi-JK dalam membangun Papua tidak perlu diragukan lagi, dalam kunjungannya ke Papua dan Papua Barat belum lama ini, Jokowi menerapkan politik satu harga BBM secara nasional, sehingga harga BBM di Papua dan Papua Barat sama dengan daerah lainnya.            Kebijakan ekonomi dan infrastruktur yang dilaksanakan Jokowi-JK dipacu karena Papua menjadi daerah produksi: mendirikan pabrik semen, mendirikan pasar, membangun lumbung pangan, dll serta pemerintah ingin ada keterhubungan antar daerah melalui jalan, pelabuhan, kabel optik (telekomunikasi), dan kereta api.

Terkait jalur kereta api, hal ini juga pernah disampaikan oleh Direktur Jenderal Perkeretaapian Hermanto Dwi Atmoko pada bulan April 2016 bahwa Papua akan memiliki jalur kereta peluru sendiri, jalur kereta api berkecepatan tinggi yang mampu menjalankan kereta ekspres pada kecepatan maksimum hingga 250 kilometer per jam, Kereta yang digunakan akan mampu membawa beban yang lebih besar, mirip dengan yang dimaksudkan untuk digunakan di Sulawesi dan Kalimantan, dan berjalan lebih cepat daripada kereta di Jawa dan Sumatera. Rencana tersebut disampaikan setelah pertemuannya dengan Wagub Papua Barat Irene Manibuy, bahwa fase pertama dan kedua pembangunan akan berlangsung antara 2016-2019, pembangunan jalur kereta api dari Manokwari ke Sorong sepanjang 390 Kilometer, proyek ini diharapkan bisa dimulai tahun ini.

Sedangkan kebijakan Polkam terkait Papua yang sudah dilaksanakan Jokowi-JK antara lain pemberian grasi, membuka akses bagi jurnalis internasional serta membentuk tim investigasi kasus Paniai.
Bagaimanapun juga, makna kebijakan Jokowi kepada Papua dan Papua Barat memiliki arti penting antara lain 
1.         Secara simbolik melambangkan komitmen politik Presiden untuk selesaikan persoalan-persoalan terkait Papua. 
2.         Kunjungan Jokowi ke Papua bertemu dan berbicara dengan masyarakat “siap berdialog” dengan siapapun termasuk OPM. 
3.         Mengadakan explorative meeting yang diinisiasi oleh Setwapres,  dan kita mengadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah dan orang Papua dengan tujuan membangun komunikasi.

Irjen Pol Paulus Waterpauw dalam sebuah seminar di LIPI Jakarta mengatakan, kondisi Papua masih aman dan damai-damai. Sebagai Kapolda Papua, sudah dikeluarkan maklumat bahwa siapapun berhak menyampaikan pendapat dimuka umum tetapi harus tetap menjaga keutuhan dan persatuan negara Republik Indonesia tapi apabila tidak bisa menjaga hal itu, maka aparatur negara akan mengambil tindakan tegas. Saat ini beberapa kabupaten kota yang terisolir sudah bisa kemana-mana karena berjalannya pembangunan.
Adanya pihak yang mengambil kesempatan dengan memutar balik fakta sebagai contoh dengan memanfaatkan foto korban saat terjadi kecelakaan lalu lintas yang meninggal dunia dengan menyebar isu bahwa telah terjadi pembunuhan terhadap orang asli Papua ini adalah ulah para sparatis yang sengaja mengkotak-kotakkan agar terjadi benturan antar suku yang selama ini hidup rukun di masyarakat.

Adanya anggapan berbagai pihak terkait kunjungan terakhir Presiden Jokowi ke Papua justru menunjukkan kebijakan pemerintah yang cenderung fokus pada kepentingan seremonial pada pembangunan infrastruktur, adalah tidak benar sebab selain infrastruktur, Presiden Jokowi sangat concern pada pembangunan di tingkat pendidikan,  kesehatan dll. Oleh karena itu, Presiden telah memberikan perintah untuk melakukan evaluasi terhadap situasi pembangunan dan keamanan di Papua.

Berdasarkan catatan, saat Wiranto dan Luhut sebagai Menko Polhukam mengunjungi Papua,  mereka mengajak 28 orang profesor Amerika  untuk membahas mengenai pembangunan pendidikan di Papua, ini salah satu contoh program nyata, serta di bidang kesehatan telah disetujui Rp 226 Miliar untuk meningkatkan standar rumah sakit di Papua menjadi standar nasional.

Mengenai isu pelanggaran HAM, Kemenko Polhukam telah membentuk tim penanganan pelanggaram HAM di Papua dan Papua Barat, dianggap tidak kredibel, padahal dalam tim tersebut ada dari Komnas HAM,  aktivis HAM Papua,  kejaksaan Papua dll. Bahkan, pemerintah sangat transparan dalam penyelesaian HAM di Papua, karena sudah mengundang perwakilan dari Australia,  New Zaeland,  Fiji dll untuk menyaksikan proses penyelesaian masalah HAM di Papua. Sedangkan, dalam kasus Paniai, belum dapat terlaksana pembentukan timnya karena para keluarga korban kasus Paniai menolak adanya proses otopsi pada korban kasus Paniai.

Menurut salah satu aktivis di Papua, dahulu OPM terpecah dalam berbagai macam faksi-faksi, tapi sekarang mereka membentuk ULMWP. Menurutnya, ada perubahan di Jakarta sejak terpilihnya Jokowi sebagai presiden,  dan masyarakat Papua mengetahui Jokowi adalah tipe orang yang menyelesaikan masalah dengan dialog  bukan dengan kekerasan.
Sementara, salah satu tokoh aktivis LSM di Manokwari menyatakan, langkah awal mencari solusi damai semakin terbuka, karena situasi politik yang berubah,  baik Indonesia maupun Papua. Menurutnya, ada perhatian pemerintah Indonesia untuk mencari solusi terhadap penyelesaian masalah HAM di Papua. Kelemahan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memuat hukum acaranya sendiri diluar KUHAP,  dan itu penting untuk didiskusikan. Menurutnya, dialog merupakan suatu model pendekatan dan strategi penyelesaian masalah masalah di tanah Papua dulu,  sekarang dan di masa depan.
Itikad dan niat pemerintahan Jokowi-JK untuk membangun Papua tidak perlu diragukan lagi, sehingga masyarakat Papua harus mengubur jauh-jauh keinginan referendum yang sejauh ini disuarakan ULMWP, KNPB dan PRD maupun AMP.     Dialog pemerintah pusat dengan masyarakat Papua boleh saja dilaksanakan, namun bukan dalam artian untuk menyelesaikan atau menuntut penyelesaian Papua secara referendum apalagi ada keterlibatan asing karena integral Papua bagian NKRI adalah sah menurut hukum Internasional dan PBB.

Kesadaran seluruh masyarakat Papua sangat diharapkan terutama generasi mudanya agar terlibat langsung dalam pembangunan ekonomi, pendidikan, dan sosial yang gencar dilakukan Pemerintah. Masyarakat Papua harus yakin bahwa pemerintahan sangat peduli dengan Papua dan Papua Barat. Jadi, jangan mudah diprovokasi oleh organisasi papua merdeka yang imbasnya akan merugikan seluruh masyarakat Papua sendiri.

Baca juga :


http://free-west-papua-new.blogspot.co.id/2016/10/euforia-kemerdekaan-timor-leste-sebagai.html

Kamis, 15 September 2016

MENGAPA KNPB MENGANGGAP PAPERA 1969 TIDAK SAH, INI ALASANNYA



Sejarah merupakan rangkaian peristiwa yang perlu dijaga dan perlu adanya pelurusan apabila ada upaya pembelokkan atau pemutar balikkan fakta yang ada, begitu juga dengan sejarah Papua. KNPB  menuduh penyelenggaraan PEPERA tidak demokratis mengapa demikian ?

Seperti diketahui bersama bahwa Indonesia dijajah Kolonial Belanda dari Sabang sampai Merauke, Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,seharusnya seluruh wilayah termasuk Pulau Papua. Namun demikian, pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua Barat, namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1 tahun, tetapisetelah masanya lewat pihak Belanda tidak memenuhi janjinya, hal ini membuat PBB campur tangan dalam penyelesaiannya.


Setelah Indonesia melakukan perebutan Papua Barat (Irian Barat) dan operasi-operasipertempuran mulai mengepung beberapa kota penting di Irian Barat, sadarlah Belanda dan sekutu-sekutunya, bahwa Indonesia tidak main-main untuk merebut kembali Irian Barat dan atas desakan Amerika Serikat, Belanda bersedia menyerahkan irian Barat kepada Indonesia melalui Persetujuan New York / New York Agreement tahun 1962 yang isinya antara lain :

1.     Paling lambat 1 Oktober 1962 pemerintahan sementara PBB (UNTEA) akan menerima serah terima pemerintahan dari tangan Belanda dan sejak saat itu bendera merah putih diperbolehkan berkibar di Irian Barat.

2.     Pada tanggal 31 Desember 11962 bendera merah putih berkibar disamping bendera PBB.

3.     Pemulangan anggota anggota sipil dan militer Belanda sudah harus selesai tanggal 1 Mei 1963

4.     Selambat lambatnya tanggal 1 Mei 1963 pemerintah RI secara resmi menerima   penyerahan pemerintahan Irian Barat dari tangan PBB.

5. Indonesia harus menerima kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat rakyat di  Irian Barat, paling lambat sebelum akhir tahun 1969.

Sesuai dengan perjanjian New York, pada tanggal 1 Mei 1963 berlangsung upacara serah terima Irian Barat dari UNTEA kepada pemerintah RI. Upacara berlangsung di Hollandia (Jayapura). Dalam peristiwa itu bendera PBB diturunkan dan berkibarlah merah putih yang menandai resminya Irian Barat menjadi propinsi ke 26. Nama Irian Barat diubah menjadi Irian Jaya.



Pada tahun 1969, diadakanlah PEPERA yang dilakukan oleh Panitia Sembilan yang telah dilantik oleh DPRD setempat. Panitia ini segera menghubungi para tokoh masyarakat Papua untuk segera bergabung dalam DMP (Dewan Musyawarah PEPERA). PEPERA diikuti oleh 1.026 anggota DMP yang menjadi wakil dari rakyat Papua Barat dari delapan kabupaten. PEPERA dimulai dari Merauke, ujung timur Indonesia, tanggal 14 Juli 1969 hingga terakhir diadakan di Jayapura pada tanggal 4 Agustus 1969. Sebagian besar wakil yang hadir memilih bersatu dengan NKRI. Pelaksanaan PEPERA turut disaksikan utusan dari PBB, utusan dari Australia, serta utusan dari Belanda. Pemerintah Indonesia dengan PBB telah sepakat untuk menggunakan sistem perwakilan bukan sistem one man one vote saat PEPERA mengingat adanya kendala secara geografis dan demografis. Sistem perwakilan itu sendiri juga merupakan wujud dari demokrasi. Dalam budaya Papua sendiri, apabila tokoh adat setempat memilih pilihannya maka pilihan ketua adat akan diikuti oleh masyarakatnya.

Pepera diadakan untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia, pemilihan suara ini menanyakan apakah sisa populasi mau bergabung dengan Republik Indonesia atau merdeka. Para wakil yang dipilih dari populasi dengan suara bulat memilih persatuan dengan Indonesia dan hasilnya diterima oleh PBB.

Hasil PEPERA kemudian diserahkan kepada Dr. Fernando Ortiz Sanz (wakil PBB untuk mengawasi PEPERA) untuk dilaporkan pada saat Sidang PBB ke-24 pada tanggal 19 November 1969. Sebanyak 84 negara anggota PBB menyetujui penggabungan Papua Barat ke wilayah Indonesia, hanya 30 negara yang abstain, dan tidak ada satu negara pun yang tidak setuju. Pihak Belanda sendiri menunjukkan sikap menghormati keputusan rakyat Papua Barat. PBB menyatakan bahwa Papua Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia dan dihapus dari daftar dekolonisasi PBB dengan disahkannya Resolusi Majelis Umum PBB no 2504.

Pembentukan Negara Boneka dan Janji kemerdekaan Irian Barat sebenarnya hanyalah tipu daya Hindia Belanda utuk tetap menguasai Irian Barat, begitu juga dengan penyelenggaraan PAPERA sendiri adalah upaya pemerintah Hindia Belanda untuk tetap menguasai Irian Barat seandainya masyarakat Papua memilih tetap dibawah kekuasaan Pemerintah Belanda. Adanya tuduhan KNPB yang mengatakan penyelenggaraan PEPERA tidak demokratis adalah tidak berdasar karena faktanya penyelenggaraan PAPERA dilaksanakan secara Demokratis.

Sekarang kedua provinsi di Papua yakni Papua dan Papua Barat telah memeroleh otonomi khusus. Bantuan dana otonomi khusus yang telah diberikan oleh pemerintah pusat tidaklah kecil. Sudah bukan waktunya lagi untuk mempermasalahkan integrasi Papua ke Indonesia. Orang-orang Papua yang tergabung dalam KNPB baik Politik ataupun Bersenjata sudah seharusnya kembali bersama-sama mengerahkan segala potensi untuk membangun Tanah Papua menuju masa depan yang cerah. Integrasi Papua sudah final. Saat ini sudah ada beberapa tokoh OPM yang telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi dan memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia, antara lain Nicolaas Jouwe dan Franzalbert Joku dan pada Perayaan HUT RI ke 71 ratusan Ex-TPNOPM juga menyatakan ikrar kembali kepangkuan NKRI. Biarlah sebutan "Tanah Surga" tetap terus melekat dengan Tanah Papua di mana setiap orang dari berbagai suku bangsa dan agama hidup dalam damai dan hidup berdampingan.

Sabtu, 03 September 2016

TIDAK ADA GENOSIDA DI PAPUA


KNPB akhir-akhir ini selalu mengeksploitasi tuduhan yang tidak berdasar tentang genosida di papua. Ungkapan ini tak lebih hanyalah untuk membodohi masyarakat khususnya Papua tentang arti kata “Genosida” itu sendiri. Kemampuan mempermainkan kata dan menjungkirbalikkan fakta menjadi senjata elite politik KNPB untuk mencari dukungan dan simpatik dari masyarakat yang tidak memahaminya.

Mari kita kupas dari tahun 1948 tentang Konvensi Genosida dan perkembangan nyatanya di Papua sampai saat ini, maka akan terungkap apa yang digemakan KNPB tentang genosida sedang terjadi di Papua adalah Hoak dan menyesatkan.

Mayoritas anggota MSG, kecuali PNG dan Fiji tidak terlibat dalam penandatangan Konvensi Genosida 1948. Begitu juga Indonesia yang merupakan bukan pihak terlibat.
Ada 2 unsur dasar dari konvensi tersebut yang perlu dipenuhi sebelum suatu niat dapat dianggap sebagai tindak genosida yaitu :
1.         Yang pertama adalah unsur kesengajaan (yang dalam konteks kriminologi akan memenuhi syarat sebagai mens rea). 
2.      Yang kedua adalah unsur tindakan untuk melakukan genosida (yang konteks kriminologi akan memenuhi syarat sebagai actus reus).

Konvensi Genosida 1948 menetapkan bahwa "Genosida berarti setiap tindakan berikut komitmen, dengan maksud untuk menghancurkan secara keseluruhan, atau sebagian, nasional, etnis, ras, atau kelompok agama.

Dapat langsung disimpulkan pada, apakah ada "niat" (mens rea)  dari Indonesia untuk melakukan genosida di Papua ? Karena semua kebijakan Indonesia terhadap Papua adalah untuk kepentingan pembangunan provinsi Papua itu sendiri.

Bagaimana seseorang dapat menyimpulkan bahwa Indonesia memiliki niat untuk menghancurkan secara keseluruhan, atau sebagian orang Papua, jika sebagaimana tertulis dalam semua hukum dan peraturan, bahwa kebijakan Indonesia terhadap Papua adalah untuk mengembangkan politik, ekonomi dan sosial masyarakat Papua sebagai sebuah kelompok. Sebagai contoh :
1.      Selama   pemerintahan  Presiden  Abdurrahman Wahid,   pemerintah mengeluarkan Otonomi khusus di Papua. Penyediaan yang d  iformulasikan untuk menjamin, tidak hanya  kelangsungan hidup, tetapi perkembangan penuh atas penghidupan orang Papua.
2.         Selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Papua termasuk kedalam rencana kerja dari percepatan dan perluasan Pembangunan ekonomi Indonesia (dikenal sebagai MP3EI). Lebih lanjut Presiden membentuk badan khusus yang dikenal sebagai Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 66 tahun 2011. Sejak itu berbagai program afirmatif diperkenalkan ke Papua.
3.       Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, cukup jelas terlihat bahwa Papua adalah prioritas. Melalui visi Nawa Cita, khususnya visi untuk mengembangkan Indonesia dari pinggiran, Papua adalah salah satu  yang paling penting. Sangat tidak jelas, jika menuduh Indonesia melakukan tindak genosida, apalagi sejak  masa pemerintahan Presiden Jokowi, beliau telah mengunjungi Papua sebanyak enam kali.

Unsur "tindakan" (actus reus)  untuk melakukan tindakan genosida juga tidak dapat dibuktikan. Ini dapat dengan mudah dilihat dari ketidakcocokan kebijakan Indonesia di Papua dan pengertian genosida menurut konvensi.
1.         Unsur utama dari tindakan yang sebenarnya (actus reus)  genosida adalah "adanya pembunuhan kelompok".   Tidak ada unsur seperti dalam kebijakan Indonesia di Papua. Kita semua tahu masih adanya orang-orang yang bermimpi kemerdekaan Papua melalui perang gerilya. Tantangan keamanan di Papua telah direspon dengan pendekatan soft power pemerintah (yaitu pendekatan persuasi politik bagi mereka yang mengangkat senjata untuk berintegrasi kembali dengan masyarakat secara damai) . Pada saat yang sama, Pemerintah juga menegaskan pendekatan hard power yang terukur, dalam bentuk penegakan hukum yang dilaksanakan dalam kerangka hukum, termasuk sistem peradilan dan di bawah pengawasan Komnas HAM dan masyarakat sipil lainnya. Metode ini tidak hanya diterapkan di Papua tetapi di seluruh Indonesia. Masyarakat Internasional sangat memuji perkembangan positif ini. Seperti laporan bank dunia yang dikeluarkan pada Juli 2014 berjudul "Bagaimana Konflik besar mereda bukti dari Indonesia.
2.         Unsur lain dari tindakan genosida adalah "menyebabkan kecacatan tubuh serius atau mental untuk anggota kelompok".            Tidak ada Kebijakan Indonesia seperti itu di Papua. Sebaliknya kebijakan dari Indonesia, baik pemerintah pusat atau provinsi untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik. Menurut BPS, ada 534 pusat kesehatan  masyarakat tersedia di papua.            Menurut konvensi lain dari genosida adalah "Pembebanan yang disengaja pada kondisi kehidupan kelompok yang membawa kehancuran fisik di keseluruhan atau sebagian". 

Apa yang terjadi di Papua adalah sebaliknya. Papua dan Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat (IPM)  telah meningkat dari 60,9 pada tahun 2004 menjadi 66,3 pada tahun 2013 dan dari 63,7 pada tahun 2004 menjadi 70,6 pada tahun 2013. Provinsi Papua Barat bahkan telah melampaui rekor HDI dari provinsi lain seperti NTT dan NTB. Peningkatan IPM di Papua telah ditopang oleh peningkatan kualitas kesehatan masyarakat seperti yang disebutkan sebelumnya.

Tindakan genosida juga mengindikasikan adanya "langkah-langkah mengesankan yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran kelompok dan juga Secara paksa memindahkan anak dari kelompok ke kelompok lain". 

Tidak ada kebijakan seperti itu di Papua. Faktanya adalah ada perbaikan pada harapan hidup di Papua . Misalnya, pada tahun 2011-2013, harapan hidup di Provinsi Papua tercatat dari 68,85 ke 69,13, sedangkan di Provinsi Papua Barat tercatat dari 68,81 ke 69,14. Pada saat yang sama tingkat kematian di Papua telah berkurang dari 105 pada tahun 1980 menjadi No. 54 di 2012. secara umum, ada juga peningkatan tingkat kesuburan di Papua.

Kesimpulannya adalah: “TIDAK ADA PEMBUNUHAN MASSAL DI PAPUA (GENOSIDA)”.
KNPB melalui ULMWP sengaja mengembangkan isu Genosida sebagai strategi untuk mendapatkan simpati dari Pemimpin negara-negara Pasifik. Meskipun demikian, akal sehat akan selalu mampu membedakan antara kenyataan sesungguhnya dari berbagai kebohongan KNPB dan ULMWP tentang Papua. 


Mari kita cermati bersama kenapa sampai saat ini Papua perkembangannya tertinggal dari daerah-daerah lain di Indonesia, salah satunya adalah adanya sekelompok kecil gerakan sparatis yang selalu menebar terror, intimidasi, propaganda dan lain-lain untuk menciptakan ketakutan dan rasa tidak aman di masyarakat dalam beraktivitas khususnya daerah pedalaman, dan berpikir negatif atas segala kebijakan pemerintah dalam menangani pembangunan Papua.